NILAI PATRIOTISME
diambil dari : http://www.glorianet.org/absusanto/nilaipat.html
Penulis :
AB SUSANTO (Ketua Umum FMKI-KAJ, Managing Partner The Jakarta Consulting Group)
PATRIOTISME, sering muncul dalam cerita-cerita rakyat dan legenda. Legenda dan cerita merupakan sarana yang efektif untuk mensosialisasikan sebuah nilai. Keberadaan cerita yang bertema patriotik di semua suku bangsa menandakan nilai-nilai patriotik memang diperlukan sebuah bangsa untuk survive. Cerita dan nilai bertemakan patriotisme adalah sebagai bagian dari sebuah budaya. Dan budaya adalah mekanisme adaptif suatu kelompok agar survive dan diwariskan secara turun-menurun.
Kadang-kadang nilai-nilai patriotik memang bergesekandengan nilai-nilai kebenaran universal. Dengan dukungan nilai patriotik Inggris pernah menjadi negara kolonialis terbesar; Jepang berjaya di Asia Timur Raya; sementara Hitler dan Mussolini membelokkan niali-nilai patriotik untuk menyulut Perang Dunia. Ramuan antara nilai-nilai patriotik dan chuvinisme akan menyesatkan dan dapat menjadikan homo homini lupus menjadi kenyataan.
Gesekan antara nilai patriotik dengan nilai-nilai kebenaran universal yang menimbulkan konflik bagi individu dapat kita jumpai pula dalam epik terkenal yang hidup du bumi Nusantara yaitu Mahabharata dan Ramayana.
Salah satu bagian yang paling menarik dari Mahabharata adalah bagian yang berkaitan dengan perang besar Bharatayuda, yang menyeret dua keluarga yang masih sedarah yaitu Pandawa dan Kurawa. Mereka memperebutkan negara Astina, yang sebenarnya menjadi hak Pandawa. Bahkan ketika Pandawa menawarkan agar astina dibagi dua, Kurawa masih tetap menolak. Berarti menurut nilai-nilai kebenaran universal Pandawa berada dipihak yang benar.
Di sinilah terungkap sisi kemanusiaan sebuah perang, berkaitan dengan perang, berkaitan dengan kebenaran, dendam, kesedihan, etika, konflik batin, dan peran sosial seorang ksatria yang dipenuhi oleh nilai-nilai patriotisme. Dalam kisah pewayangan Jawa, kedua epik yang cerita aslinya berasal dari bumi India telah mengalami proses akulturasi, dan bersenyawa dengan niali-nilai lokal di Jawa.
Dalam Bharatayuda, dua tokoh yang digambarkan mengalami konflik batin karena harus menjalankan nilai-nilai patriotisme adalah tokoh Karna dan Arjuna. Adipati Karna, adalah "kakak" dari para Pandawa bersaudara yang berjumlah lima orang. Ia lahir dari hasil hubungan sebelum menikah antara Dewi Kunti dan Batara Surya, si Dewa Matahari. Untuk menyelamatkan Kunti dari aib, seorang resi yang menjadi gurunya, mengeluarkan jabang bayi dari kupingnya (telinga, Red.). Singkat cerita, kemudian Karna berkarir di Astina dalam lingkungan Kurawa dan berhasil menduduki jabatan Adipati yang menguasai sebuah wilayah. Sedangkan Kunti akhirnya dinikahi Pandu dan melahirkan lima orang ksatria Pandawa.
Menjelang perang Bharatayuda, Dewi Kunti sangat khawatir terjadinya perang antara putranya Karna yang membela Astina dengan putranya yang lain, Arjuna, salah satu Ksatria Pandawa. Kunti mendatangi Karna dan memintanya untuk memihak adik-adiknya sendiri, Pandawa. Namun, Karna menolak karena Astina merupakan tanah airnya dan sebagai ksatria ia harus membela tanah airnya, tempat ia dibesarkan dan memperoleh kedudukan. Sepeninggal ibunya Karna dihinggapi kebimbangan, yang disebabkan oleh konflik antara keinginan untuk bersikap patriotik membela Astina dan membela saudara-saudaranya yang menurut kata hatinya adalah pihak yang benar. Tapi kemudian dinasihati oleh Kresna tentang kewajiban seorang ksatria untuk membela tanah airnya.
Ketika Bharatayuda berlangsung, Karna dan arjuna akhirnya jadi bertemu di medan pernag. Karna yang menjadi panglima perang pihak Kurawa relatif lebih siap mental berperang melawan adiknya sendiri. Karena sudah pernah melewati masa-masa kebimbangan, berkat nasehat Kresna.
Tidak demikian yang terjadi dengan Arjuna, yang menjadi panglima perang pihak Pandawa. Kebimbangan menyergahnya, ketika harus berhadapan dengan kakaknya sendiri. Sehingga kresna harus memberikan nasehat panjang lebar untuk menuntaskan konflik batin Arjuna dan menepiskan sentimen emosional karena harus berperang melawan saudaranya sendiri. Kresna, lagi-lagi mengingatkan tentang peran sosial seorang ksatria yang harus tegar terhadap sentuhan-sentuhan emosionalnya dalam menjalankan peran sosialnya sebagai ksatria.
Ketika saling berhadapan, Arjuna dan Karna sempat larut dalam keharuan. Namun dengan tegar Karna mengingatkan, akan kewajiban seorang ksatria dan mulai berperang, agar tidak menjadi tertawaan para prajuritnya. Dapatkah Anda bayangkan situasi emosional seperti ini terhadap para tentara yang sedang menjalankan tugas menghadapi pemberontakan dan harus berperang melawan saudaranya sendiri?
Sosok lain yang mewakili jiwa patriotisme yang terbelit dalam situasi yang kompleks adalah sosok Kumbakarna dalam epik Ramayana. Si raksasa penidur ini adalah adik dari raja angkara murka Rahwana yang telah menculik Dewi Sinta. Dia sebenarnya menyadari kekeliruan kakaknya dan tidak berniat untuk membela kakaknya.
Namun di amengambil sikap berbeda dengan adiknya, Wibisana. Wibisana menyeberang kepada pihak Rama, karena menyadari bahwa kakaknya berdasarkan nilai-nilai universal berada di pihak yang salah. Kumbakarna merasa harus membela tanah airnya ketika diserang oleh pasukan Rama dan Hanoman. Baginya membela negara adalah kewajiban, dan bukan berarti membela Rahwana (government). Baginya membela negara dan membela penguasa adalah sesuatu yang berbeda.
Dari kedua epik ini, kita dapat merenungkan bagaimana implementasi nilai-nilai patriotisme dalam kehidupan sehari-hari menghadapi situasi yang kompleks. Namun nilai-nilai patriotisme sangat dibutuhkan dalam eksistensi suatu bangsa dan negara. Demikian juga dengan para "ksatria", sangat dibutuhkan keberadaannya dalam sebuah negara-bangsa. Nilai-nilai patriotisme itu selayaknya memang diabdikan untuk negara dan bangsa, dan bukan kepada penguasa.
Adakalanya, nilai-nilai patriotisme - dan para ksatria yang menjalaninya - bergesekan dengan nilai-nilai universal, dan kita tidak boleh melihatnya secara hitam-putih.
Read more!