Monday, December 19, 2005

NILAI PATRIOTISME

diambil dari : http://www.glorianet.org/absusanto/nilaipat.html
Penulis :
AB SUSANTO (Ketua Umum FMKI-KAJ, Managing Partner The Jakarta Consulting Group)

PATRIOTISME, sering muncul dalam cerita-cerita rakyat dan legenda. Legenda dan cerita merupakan sarana yang efektif untuk mensosialisasikan sebuah nilai. Keberadaan cerita yang bertema patriotik di semua suku bangsa menandakan nilai-nilai patriotik memang diperlukan sebuah bangsa untuk survive. Cerita dan nilai bertemakan patriotisme adalah sebagai bagian dari sebuah budaya. Dan budaya adalah mekanisme adaptif suatu kelompok agar survive dan diwariskan secara turun-menurun.


Kadang-kadang nilai-nilai patriotik memang bergesekandengan nilai-nilai kebenaran universal. Dengan dukungan nilai patriotik Inggris pernah menjadi negara kolonialis terbesar; Jepang berjaya di Asia Timur Raya; sementara Hitler dan Mussolini membelokkan niali-nilai patriotik untuk menyulut Perang Dunia. Ramuan antara nilai-nilai patriotik dan chuvinisme akan menyesatkan dan dapat menjadikan homo homini lupus menjadi kenyataan.

Gesekan antara nilai patriotik dengan nilai-nilai kebenaran universal yang menimbulkan konflik bagi individu dapat kita jumpai pula dalam epik terkenal yang hidup du bumi Nusantara yaitu Mahabharata dan Ramayana.

Salah satu bagian yang paling menarik dari Mahabharata adalah bagian yang berkaitan dengan perang besar Bharatayuda, yang menyeret dua keluarga yang masih sedarah yaitu Pandawa dan Kurawa. Mereka memperebutkan negara Astina, yang sebenarnya menjadi hak Pandawa. Bahkan ketika Pandawa menawarkan agar astina dibagi dua, Kurawa masih tetap menolak. Berarti menurut nilai-nilai kebenaran universal Pandawa berada dipihak yang benar.

Di sinilah terungkap sisi kemanusiaan sebuah perang, berkaitan dengan perang, berkaitan dengan kebenaran, dendam, kesedihan, etika, konflik batin, dan peran sosial seorang ksatria yang dipenuhi oleh nilai-nilai patriotisme. Dalam kisah pewayangan Jawa, kedua epik yang cerita aslinya berasal dari bumi India telah mengalami proses akulturasi, dan bersenyawa dengan niali-nilai lokal di Jawa.

Dalam Bharatayuda, dua tokoh yang digambarkan mengalami konflik batin karena harus menjalankan nilai-nilai patriotisme adalah tokoh Karna dan Arjuna. Adipati Karna, adalah "kakak" dari para Pandawa bersaudara yang berjumlah lima orang. Ia lahir dari hasil hubungan sebelum menikah antara Dewi Kunti dan Batara Surya, si Dewa Matahari. Untuk menyelamatkan Kunti dari aib, seorang resi yang menjadi gurunya, mengeluarkan jabang bayi dari kupingnya (telinga, Red.). Singkat cerita, kemudian Karna berkarir di Astina dalam lingkungan Kurawa dan berhasil menduduki jabatan Adipati yang menguasai sebuah wilayah. Sedangkan Kunti akhirnya dinikahi Pandu dan melahirkan lima orang ksatria Pandawa.

Menjelang perang Bharatayuda, Dewi Kunti sangat khawatir terjadinya perang antara putranya Karna yang membela Astina dengan putranya yang lain, Arjuna, salah satu Ksatria Pandawa. Kunti mendatangi Karna dan memintanya untuk memihak adik-adiknya sendiri, Pandawa. Namun, Karna menolak karena Astina merupakan tanah airnya dan sebagai ksatria ia harus membela tanah airnya, tempat ia dibesarkan dan memperoleh kedudukan. Sepeninggal ibunya Karna dihinggapi kebimbangan, yang disebabkan oleh konflik antara keinginan untuk bersikap patriotik membela Astina dan membela saudara-saudaranya yang menurut kata hatinya adalah pihak yang benar. Tapi kemudian dinasihati oleh Kresna tentang kewajiban seorang ksatria untuk membela tanah airnya.

Ketika Bharatayuda berlangsung, Karna dan arjuna akhirnya jadi bertemu di medan pernag. Karna yang menjadi panglima perang pihak Kurawa relatif lebih siap mental berperang melawan adiknya sendiri. Karena sudah pernah melewati masa-masa kebimbangan, berkat nasehat Kresna.

Tidak demikian yang terjadi dengan Arjuna, yang menjadi panglima perang pihak Pandawa. Kebimbangan menyergahnya, ketika harus berhadapan dengan kakaknya sendiri. Sehingga kresna harus memberikan nasehat panjang lebar untuk menuntaskan konflik batin Arjuna dan menepiskan sentimen emosional karena harus berperang melawan saudaranya sendiri. Kresna, lagi-lagi mengingatkan tentang peran sosial seorang ksatria yang harus tegar terhadap sentuhan-sentuhan emosionalnya dalam menjalankan peran sosialnya sebagai ksatria.

Ketika saling berhadapan, Arjuna dan Karna sempat larut dalam keharuan. Namun dengan tegar Karna mengingatkan, akan kewajiban seorang ksatria dan mulai berperang, agar tidak menjadi tertawaan para prajuritnya. Dapatkah Anda bayangkan situasi emosional seperti ini terhadap para tentara yang sedang menjalankan tugas menghadapi pemberontakan dan harus berperang melawan saudaranya sendiri?

Sosok lain yang mewakili jiwa patriotisme yang terbelit dalam situasi yang kompleks adalah sosok Kumbakarna dalam epik Ramayana. Si raksasa penidur ini adalah adik dari raja angkara murka Rahwana yang telah menculik Dewi Sinta. Dia sebenarnya menyadari kekeliruan kakaknya dan tidak berniat untuk membela kakaknya.

Namun di amengambil sikap berbeda dengan adiknya, Wibisana. Wibisana menyeberang kepada pihak Rama, karena menyadari bahwa kakaknya berdasarkan nilai-nilai universal berada di pihak yang salah. Kumbakarna merasa harus membela tanah airnya ketika diserang oleh pasukan Rama dan Hanoman. Baginya membela negara adalah kewajiban, dan bukan berarti membela Rahwana (government). Baginya membela negara dan membela penguasa adalah sesuatu yang berbeda.

Dari kedua epik ini, kita dapat merenungkan bagaimana implementasi nilai-nilai patriotisme dalam kehidupan sehari-hari menghadapi situasi yang kompleks. Namun nilai-nilai patriotisme sangat dibutuhkan dalam eksistensi suatu bangsa dan negara. Demikian juga dengan para "ksatria", sangat dibutuhkan keberadaannya dalam sebuah negara-bangsa. Nilai-nilai patriotisme itu selayaknya memang diabdikan untuk negara dan bangsa, dan bukan kepada penguasa.

Adakalanya, nilai-nilai patriotisme - dan para ksatria yang menjalaninya - bergesekan dengan nilai-nilai universal, dan kita tidak boleh melihatnya secara hitam-putih.

Read more!

Tuesday, August 30, 2005

Adipati KARNA

Kisah Sang Adipati KARNA


Diceritakan kembali oleh : M. Ni'mal Fata
http://members.tripod.com/~pasitb/kippas.htm

"Tidak! Ibu! Saya memang anak Ibu, namun hamba diberi makan oleh Hastina. Apakah Ibu akan membiarkan anakmu ini untuk tidak tahu diri dengan tidak membalas kebaikan penguasa Hastinapura terhadap saya?" sahut Karna ketika ibunya, Dewi Kunti membujuknya untuk memihak Pandawa sebagai pihak yang 'benar' dalam Bharata Yudha (perang saudara).

Bharatayudha merupakan salah satu episode dalam cerita wayang, di mana terjadi perang saudara akibat kekeraskepalaan Kurawa yang tidak mau menyerahkan hak Pandawa.

"Mereka 'kan saudara kandungmu, Nak!" bujuk Kunti yang rupanya tidak tega melihat anak-anaknya saling berbunuhan.

"Maafkan saya, Ibu! Bukan saya tidak berbakti, tapi Hastina sudah menjadi tanah air saya, saya bukan membela kejahatan Kurawa, tapi saya membalas budi baik Kurawa yang telah memelihara saya dan juga membela Hastina sebagai tanah air. Saya adalah ksatria, Bu! Maaf, sekali lagi maaf. Sudah menjadi dharma saya selaku ksatria harus membela negara saya. Rasanya sangat tidak sopan dan tidak tahu diri kalau saya tidak mendukung dan mempertahankan negara saya, karena Hastina diserang oleh Pandawa. Itu pendirian saya, Ibu. Harap Ibu maklum." Dewi Kunti pun putus asa, demikian kuat pendirian putranya.

Sesungguhnya juga ia khawatir akan keselamatan anak-anaknya, terutama Pandawa yang dalam peperangan mendatang ini sebagai pihak yang "benar".

***

Alkisah, terjadi persaingan klasik antara Karna dengan Arjuna. Keduanya sama-sama tangkas dan trengginas. Sama-sama cerdas dan murid kesayangan Durna. Semasa kecil, Karna sering diejek oleh para Pandawa, karena dianggap anak kusir, jadi dianggap tidak sepadan dengan mereka yang memiliki kasta ksatria. Namun oleh Kurawa ia disenangi serta 'dipelihara' karena hanya dia yang bisa mengalahkan Arjuna dalam memanah dan berbagai ketangkasan lainnya. Dan ketika Duryudana menjadi raja, ia diberi gelar Adipati. Sehingga namanya menjadi Adipati Karna.

Sejak kecil mereka (Pandawa dan Kurawa) sudah bersaing dalam berbagai hal. Dan selalu saja Kurawa dalam pihak yang kalah. Kemampuan mereka jauh di bawah Pandawa, terutama Arjuna.

Karna, walaupun dianggap anak kusir, karena kusir istana memelihara dia sejak bayi setelah menemukannya di sungai terapung-apung dibuang oleh Dewi Kunti, ibunya, setelah berhubungan gelap dengan Bathara Surya Sang Dewa Matahari. Sedangkan Arjuna adalah anak Dewi Kunti dari Bathara Indra, Dewa Hujan. Sama-sama sakti dan cerdas. Keduanya juga susah untuk bersatu.

Setiap mau bertarung, dalam hal apa pun, ayah mereka akan melindungi putranya masing-masing. Jadi, mereka memang lawan yang seimbang. Itulah salah satu tujuan Kurawa memelihara Karna, sebagai tandingan Arjuna yang tidak dimiliki oleh Kurawa. Sampai-sampai pernah diadakan semacam pertandingan antara Pandawa dan Kurawa. Dan lagi-lagi, Karna ikut, walaupun dia bukan dari golongan mereka waktu itu, dan memang hanya Karna yang dapat menandingi Arjuna dalam ketangkasan.

***

Perang pun terjadilah. Pertarungan antara Adipati Karna dengan Arjuna demikian sengitnya. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Sama-sama sakti Mandraguna. Dan seperti kebanyakan cerita-cerita klasik, Arjuna yang membela Pandawa (kubu 'kebenaran') pun menang setelah mengeluarkan panah Pasopati, senjata pamungkas pemberian ayahnya sewaktu ia bertapa sebelum pecahnya perang saudara.

Karna, karena berpihak kepada Kurawa (kubu 'salah') meskipun ia membela Hastina negerinya, bukan keangkaramurkaan Kurawa, harus puas menerima nasib sebagai pihak yang gugur dan dikalahkan.

Demikian skenario para dewata. Apakah itu hukum alam? Skenario yang disusun memang seperti itu, sehingga Kurawa harus kalah.
Meskipun Adipati Karna ada di pihaknya, meskipun Resi Bisma, resi mahasakti tak terkalahkan, figur ksatria ideal dan teladan yang rela berkorban untuk hati nuraninya, yang sampai-sampai dia boleh memilih sendiri hari kematiannya, sebelum dia mau dia belum mati, meskipun ribuan panah menancap di dadanya, meskipun racun yang ganas menyerang tubuhnya, meskipun sejuta tebasan golok di lehernya. Dan kenyataan yang diterima memang demikian.

***

Karna bukannya tidak tahu penyebab perang saudara, bukannya tidak mengerti bagaimana Sengkuni selaku Mahapatih Hastina yang penjilat dan 'pengadu domba' ulung itu yang karena dendam pribadinya kepada ayah Pandawa (Pandu Dewanata) –lebih jauh baca buku-buku tentang Mahabharata--, 'mengkilik-kilik' Kurawa agar terjadi perang saudara tersebut.

Pihak Pandawa dengan dibantu Kresna berusaha sekuat tenaga menghindari perang saudara itu, namun Sengkuni selalu membujuk Kurawa agar meneruskan pertentangan menjadi perang. Karna tahu semua itu. Dia bahkan tahu luar dalam bagaimana pribadi dan akhlak Pandawa yang terpuji, berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan Kurawa.

Namun, kembali lagi, Karna hanya membela tanah airnya, Hastinapura. Karena hutang budinya itulah, dia mempertaruhkan nyawa dan bahkan kehormatannya selaku ksatria dengan rela dianggap pembela kejahatan. Dia hanya menuruti apa kata hati nuraninya.

***

Dan, akhrinya Karna pun berada di Nirwana bersama Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa (Pandawa Lima), Bhisma dan juga ksatria lainnya. [N.F] Bandung, 14 Oktober 1997
.

Read more!

Monday, August 29, 2005

WELCOME

.
ALMOST entire Warriors has been sent to their grave before nobody knows them.

Most people told that they have been gift by the royal blood.
NO, the warriors not 'The Royal Blood' Legacy, and most of them are ennobled.

We don’t need any noble…
There’s no right or wrong, true or false, this is the way of a man.

The Warriors LEVEL are how many tears and blood they've been spent, how many of heart of their sacrifice.

And I am one of them, The watcher...

CONTINUING THIS LEGACY...

Knight of Warriors


Read more!